A
|
rtikel ini masih menceritakan tentang preschool
Day Care Al – Hadi yang sungguh luar biasa dedikasinya dalam mendidik anak –
anak penerus bangsa.
Sepenuh hati, sepenuh cinta adalah motto yang terus
menerus diterapkan serta dijalankan di Day Care Al – Hadi.
Kali ini, Day Care Al – Hadi mengundang Bapak Lurah
Zainudin dan ketua RT Bapak Sunar untuk meresmikan agenda tahunan yang
ada di Day Care Al – Hadi.
Agenda tahunan yang diadakan Day Care Al - Hadi kali ini adalah GERNAS BAKU. Apa sih GERNAS BAKU itu ? GERNAS BAKU itu
merupakan kepanjangan dari Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku.
Jadi, akan ada satu hari dalam setahun dimana orang
tua murid akan membacakan buku untuk anaknya. Karena membacakan buku untuk anak
adalah bentuk wujud cinta orang tua kepada anaknya.
Buku yang dibacakan itu bebas, bisa tentang kisah para nabi dan rosul, kisah sejarah umat islam, kisah tentang para sahabat nabi, kisah tentang sejarah islam, dongeng ataupun kisah tentang Cinderella.
Buku yang dibacakan itu bebas, bisa tentang kisah para nabi dan rosul, kisah sejarah umat islam, kisah tentang para sahabat nabi, kisah tentang sejarah islam, dongeng ataupun kisah tentang Cinderella.
Tetapi tetap memiliki pesan moral yang positif serta
mengandung nilai – nilai akhlak dan budi perkerti di dalam cerita bukunya.
Dalam sambutan yang diberikan oleh Bapak Zainudin
selaku Lurah di Kelurahan Meruya Utara, kecamatan kembangan ini pun mendukung
adanya agenda tahunan ini, bahkan bukan hanya agenda tahunanya saja yang
mendapat dukungan, tetapi keberadaan Day Care Al – Hadi di tengah – tengah keramaian
dan kesibukkan aktivitas warganya 100% telah mendapatkan izin serta dukungan
dari Bapak Zainudin.
“Saya baru pertama kali mendatangi paud ini. Paud ini berbeda dari yang lainnya. Konsep yang diterapkan di sini sangat baik dan
tersusun rapih. Rasa kekeluargaan yang tertanam di paud ini jauh di atas
rata – rata. Seperti bukan berada di paud melainkan berada di sebuah taman
yang asri dan indah” Kata Bapak Zainudin.
“Bismillahi rohman nii rohim, pada minggu,
tertanggal 27 Juli 2019, mata pelajaran GERNAS BAKU atau Gerakan Nasional Orang
Tua Membacakan Buku, saya resmikan di buka” Lanjut kata Bapak Zainudin.
Nah sekarang, saatnya untuk Bunda ANIFAH QOWIYATUN membacakan Buku yang
berjudul :
Legenda Situ Bagendit
Pada jaman dahulu
kala disebelah utara kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan
adalah petani.
Karena tanah di
desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah - sawah
mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para
penduduk di desa itu tetap miskin.
Hari masih
sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah
bergegas menuju sawah mereka.
Hari ini adalah
hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada
seorang tengkulak bernama Nyi Endit.
Nyi Endit adalah
orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena
harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu.
Ya! Seluruh
petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada
Nyi Endit.
Mereka terpaksa
menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara
dengan centeng - centeng suruhan nyi Endit. Jika pasokan padi mereka habis,
mereka harus membeli dari nyi Endit dengan harga yang melambung tinggi.
“Wah kapan ya
nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya.
“Tidak tahan saya
hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
“Sssst, jangan
kenceng - kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya.
“Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara iru Nyi
Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
“Barja!” kata nyi
Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyi Endit.
“Beres Nyi!”
jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah
penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak
muat lagi.”
“Ha ha ha ha…!
Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku.
Aku akan semakin
kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil
panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!” kata
Nyi Endit.
Benar saja, beberapa
minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak
yang sudah mulai menderita kelaparan.
Sementara Nyi
Endit selalu berpesta pora dengan makanan - makanan mewah di rumahnya.
“Aduh pak,
persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli
beras ke Nyi Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat
disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu
membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang
kami pikul.”
Begitulah
gerutuan para penduduk desa atas kesewenang - wenangan Nyi Endit.
Suatu siang yang
panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk - bungkuk.
Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.
“Hmm, kasihan
para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seseorang. Sepertinya
hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan
mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
“Nyi! Saya
numpang tanya,” kata si nenek.
“Ya nek ada apa
ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
“Dimanakah saya
bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
“Oh, maksud nenek
rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja
sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah
yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”
“Saya mau minta
sedekah,” kata si nenek.
“Ah percuma saja
nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan
di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
“Tidak perlu,”
jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta
sedekah. Oh ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap - siap
mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Nenek bercanda
ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
“Aku tidak
bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi
Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik
kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si
nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu Nyi
Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya.
Si pengemis tiba di depan rumah Nyi Endit dan langsung dihadang oleh para
centeng.
“Hei pengemis
tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak
kakimu!” bentak centeng.
“Saya mau minta
sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya
tidak makan,” kata si nenek.
“Apa peduliku,”
bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta!
Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek
tidak bergeming di tempatnya. “Nyi Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyi
Endiiiit…!” teriak si nenek.
Centeng - centeng
itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak - teriak, tapi tidak
berhasil.
“Siapa sih yang
berteriak - teriak di luar,” ujar Nyi Endit. “Ganggu orang makan saja!”
“Hei…! Siapa kamu
nenek tua? Kenapa berteriak - teriak di depan rumah orang?” bentak Nyi Endit.
“Saya Cuma mau
minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.
“Lah..ga makan
kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium
baumu,” kata Nyi Endit.
Si nenek bukannya
pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyi Endit
dengan penuh kemarahan.
“Hei Endit..!
Selama ini Tuhan memberimu rizki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir!
Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur - hamburkan makanan”
teriak si nenek berapi - api.
“Aku datang
kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini
bersiaplah menerima hukumanmu.”
“Ha ha ha … Kau
mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng - centengku banyak!
Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyi Endit.
“Tidak perlu
repot - repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa
mencabut tongkatku dari tanah.”
“Dasar nenek
gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyi Endit
sombong.
Lalu hup! Nyi
Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan.
Ternyata tongkat
itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming
juga.
“Sialan!” kata Nyi
Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji
kalian aku potong!”
Centeng - centeng
itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga
orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
“Ha ha ha… kalian
tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat
aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan
sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah.
Byuuuuurrr!!!!
Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
“Endit! Inilah
hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu.
Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah berkata
demikian si nenek tiba - tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyi Endit yang
panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan
hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Di desa itu kini
terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’.
Situ artinya
danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang
- kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu
adalah penjelmaan Nyi Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
Pesan moral yang dapat diambil dari kisah di atas adalah
:
Kita selaku orang tua wajib mengajarkan nilai kepada
anak dan bukan besarnya jumlah. Karena sebanyak apa pun jumlah kekayaan yang
kita miliki, kalau tidak memiliki nilai untuk orang lain, itu hanya akan
menjadikan karakter dan ahlak si anak menjadi tamak dan kikir.
Sebaliknya, jika jumlah kekayaan yang kita miliki
itu sedikit, namun bernilai dan berarti untuk orang lain, itu akan menjadikan
ahlak serta karakter si anak peduli terhadap lingkungan sekitar dan mau saling
untuk berbagi. Karena semua yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan sang
pencipta.
Kita tidak tau kapan titipan itu akan diambil dari
kita, yang kita harus jaga dan syukuri adalah kita masih di percaya oleh sang
pencipta untuk menjaga semua titipannya, seperti Day Care Al – Hdi yang di
percaya Allah untuk menjaga anak – anak kita yang Allah percayakan kepada kita
dan Day Care Al –Hadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar