Pages

Minggu, 28 Juli 2019

Paud Al - Hadi : “Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku”


A
rtikel ini masih menceritakan tentang preschool Day Care Al – Hadi yang sungguh luar biasa dedikasinya dalam mendidik anak – anak penerus bangsa.

Sepenuh hati, sepenuh cinta adalah motto yang terus menerus diterapkan serta dijalankan di Day Care Al – Hadi.

Kali ini, Day Care Al – Hadi mengundang Bapak Lurah Zainudin dan ketua RT Bapak Sunar untuk meresmikan agenda tahunan yang ada di Day Care Al – Hadi.

Agenda tahunan yang diadakan Day Care Al - Hadi kali ini adalah GERNAS BAKU. Apa sih GERNAS BAKU itu ? GERNAS BAKU itu merupakan kepanjangan dari Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku.
 
Jadi, akan ada satu hari dalam setahun dimana orang tua murid akan membacakan buku untuk anaknya. Karena membacakan buku untuk anak adalah bentuk wujud cinta orang tua kepada anaknya.

Buku yang dibacakan itu bebas, bisa tentang kisah para nabi dan rosul, kisah sejarah umat islam, kisah tentang para sahabat nabi, kisah tentang sejarah islam, dongeng ataupun kisah tentang Cinderella.

Tetapi tetap memiliki pesan moral yang positif serta mengandung nilai – nilai akhlak dan budi perkerti di dalam cerita bukunya.

Dalam sambutan yang diberikan oleh Bapak Zainudin selaku Lurah di Kelurahan Meruya Utara, kecamatan kembangan ini pun mendukung adanya agenda tahunan ini, bahkan bukan hanya agenda tahunanya saja yang mendapat dukungan, tetapi keberadaan Day Care Al – Hadi di tengah – tengah keramaian dan kesibukkan aktivitas warganya 100% telah mendapatkan izin serta dukungan dari Bapak Zainudin.
 
“Saya baru pertama kali mendatangi paud ini. Paud ini berbeda dari yang lainnya. Konsep yang diterapkan di sini sangat baik dan tersusun rapih. Rasa kekeluargaan yang tertanam di paud ini jauh di atas rata – rata. Seperti bukan berada di paud melainkan berada di sebuah taman yang asri dan indah” Kata Bapak Zainudin.
 
“Bismillahi rohman nii rohim, pada minggu, tertanggal 27 Juli 2019, mata pelajaran GERNAS BAKU atau Gerakan Nasional Orang Tua Membacakan Buku, saya resmikan di buka” Lanjut kata Bapak Zainudin.

Nah sekarang, saatnya untuk Bunda ANIFAH QOWIYATUN membacakan Buku yang berjudul :
 
Legenda Situ Bagendit

Pada jaman dahulu kala disebelah utara kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani.

Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah - sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin.

Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka.

Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyi Endit.

Nyi Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu.

Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyi Endit.

Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng - centeng suruhan nyi Endit. Jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari nyi Endit dengan harga yang melambung tinggi.

“Wah kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya.

“Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”

“Sssst, jangan kenceng - kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya.

“Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”

Sementara iru Nyi Endit sedang memeriksa lumbung padinya.

“Barja!” kata nyi Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyi Endit.

“Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”

“Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku.

Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!” kata Nyi Endit.

Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan.

Sementara Nyi Endit selalu berpesta pora dengan makanan - makanan mewah di rumahnya.

“Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyi Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”

Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang - wenangan Nyi Endit.

Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk - bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.

“Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seseorang. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.

Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.

“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.

“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut

“Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek

“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”

“Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.

“Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.

“Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. Oh ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap - siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”

“Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”

“Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.

Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.

Sementara itu Nyi Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyi Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.

“Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.

“Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.

“Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”

Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. “Nyi Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyi Endiiiit…!” teriak si nenek.

Centeng - centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak - teriak, tapi tidak berhasil.

“Siapa sih yang berteriak - teriak di luar,” ujar Nyi Endit. “Ganggu orang makan saja!”

“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak - teriak di depan rumah orang?” bentak Nyi Endit.

“Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.

“Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyi Endit.

Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyi Endit dengan penuh kemarahan.

“Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rizki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur - hamburkan makanan” teriak si nenek berapi - api.

“Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”

“Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng - centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyi Endit.

“Tidak perlu repot - repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”

“Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyi Endit sombong.

Lalu hup! Nyi Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan.

Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.

“Sialan!” kata Nyi Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”

Centeng - centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.

“Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”

Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah.

Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.

“Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”

Setelah berkata demikian si nenek tiba - tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyi Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.

Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’.

Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang - kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyi Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.

Pesan moral yang dapat diambil dari kisah di atas adalah :

Kita selaku orang tua wajib mengajarkan nilai kepada anak dan bukan besarnya jumlah. Karena sebanyak apa pun jumlah kekayaan yang kita miliki, kalau tidak memiliki nilai untuk orang lain, itu hanya akan menjadikan karakter dan ahlak si anak menjadi tamak dan kikir.

Sebaliknya, jika jumlah kekayaan yang kita miliki itu sedikit, namun bernilai dan berarti untuk orang lain, itu akan menjadikan ahlak serta karakter si anak peduli terhadap lingkungan sekitar dan mau saling untuk berbagi. Karena semua yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan sang pencipta.

Kita tidak tau kapan titipan itu akan diambil dari kita, yang kita harus jaga dan syukuri adalah kita masih di percaya oleh sang pencipta untuk menjaga semua titipannya, seperti Day Care Al – Hdi yang di percaya Allah untuk menjaga anak – anak kita yang Allah percayakan kepada kita dan Day Care Al –Hadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar